Baterai natrium disinyalir menjadi kandidat kuat pengganti baterai lithium karena dinilai lebih berkelanjutan.
Saat ini perusahaan-perusahaan terkemuka khususnya di industri otomotif, sedang mencari energi alternatif untuk menggantikan baterai lithium-ion.
Seperti yang sudah diketahui, sebagian besar Electric Vehicle (EV), atau yang lebih dikenal dengan motor atau mobil listrik, menggunakan baterai lithium-ion sebagai energi utama.
Dilansir dari Research and Markets, besaran pasar untuk baterai lithium diprediksi akan meningkat tinggi menjadi $187 miliar (£150 miliar) pada tahun 2032, dari $57 miliar (£45 miliar) pada tahun 2023.
Lalu, Uni Eropa juga sudah menobatkan lithium sebagai bahan baku krisis di 2020.
Baca juga: Alternatif Baterai Lithium Kendaraan Listrik
Untuk itu, menemukan alternatif baterai lithium dapat menjadi pertimbangan untuk memenuhi kebutuhan global.
Salah satu kandidat terkuat pengganti baterai lithium-ion adalah baterai natrium-ion.
Pada baterai natrium-ion, kandungan natrium secara langsung menggantikan lithium.
Tidak seperti baterai lithium-ion, baterai natrium mengandung empat komponen utama, yaitu anoda, katoda, elektrolit, dan pemisah. Keadaan elektrolit bervariasi tergantung pada produsen.
Rasio natrium terhadap lithium di kerak bumi adalah sekitar 23.600 part per million (ppm).
Baca juga: Mengintip Komposisi Baterai Lithium-sulfur
Melimpahnya jumlah natrium alami menyebabkan biaya ekstraksi yang jauh lebih rendah.
Faktor selanjutnya adalah dapat menggunakan bahan lain yang lebih murah, misalnya menggantikan foil tembaga dengan aluminium foil.
Maria Forsyth, Ketua Elektro-material dan Ilmu Korosi di Deakin University, Australia, mengatakan bahwa beralih dari produksi baterai lithium ke natrium akan cukup murah.
“Manufaktur cukup bijaksana, transisinya mudah karena (menggunakan) pabrik yang sama, yang saat ini memproduksi baterai lithium-ion dapat memproduksi baterai natrium,” kata Forsyth.
Artinya, produksi baterai natrium-ion dapat ditingkatkan dengan cepat.
Kemudian, salah satu manfaat baterai natrium adalah keamanannya saat transit.
Fitur unik dari teknologi natrium-ion adalah kemampuan untuk melepaskan natrium ke nol volt untuk penyimpanan dan transportasi.
“Ini berarti dapat disimpan dan diangkut dalam kondisi yang lebih aman. Tingkat risiko mudah terbakar yang lebih rendah menjadikannya pilihan yang lebih aman dibandingkan dengan baterai lithium,” kata James Quinn, Kepala Eksekutif Faradion, dikutip dari BBC.
Tetapi, di balik kelebihannya, baterai natrium-ion masih memiliki kekurangan dibandingkan dengan lithium-ion.
Salah satu kelemahannya adalah kepadatan energi yang rendah.
Bagi produsen Electric Vehicle (EV), baterai dengan kepadatan energi rendah cukup bermasalah karena akan mempengaruhi jangkauan kendaraan.
Sementara, baterai lithium memiliki kepadatan energi antara 150-220 Wh/kg (watt-jam per kilogram), baterai natrium memiliki kisaran kepadatan energi yang lebih rendah 140-160 Wh/kg.
Artinya, kecil kemungkinan baterai dengan unsur natrium akan diskalakan secara komersial untuk digunakan dalam EV yang membutuhkan rentang panjang antara pengisian daya.
Baca juga: Efisiensi Baterai Solid-state Vs Lithium-ion
Rintangan lain dari kandidat pengganti lithium ini adalah hanya dapat mengelola sejumlah siklus pengisian daya yang pendek dalam masa pakainya.
Saat ini, baterai natrium memiliki siklus pengisian sekitar 5.000 kali, sedangkan baterai lithium-iron fosfat (sejenis baterai lithium-ion) dapat diisi antara 8.000-10.000 kali.
Namun, para peneliti sedang bekerja untuk menyelesaikan ini. Pada tahun 2023, para ilmuwan dan insinyur Tiongkok berhasil mencapai 6.000 siklus menggunakan jenis elektroda yang berbeda.
Perusahaan teknologi baterai Tiongkok, HiNa, meluncurkan pembangkit listrik penyimpanan energi 100 kWh pada tahun 2019.
Perusahaan tersebut mendemonstrasikan kelayakan baterai natrium-ion untuk penyimpanan energi skala besar.
HiNa juga baru-baru ini menguji coba batch kendaraan listrik bertenaga baterai natrium.