Para peneliti sedang melakukan uji coba baterai lithium-sulfur yang disinyalir punya kesamaan dengan baterai lithium-ion.
Baterai lithium-sulfur memiliki komposisi yang mirip dengan baterai lithium-ion. Pasalnya, jenis baterai ini masih menggunakan beberapa kandungan lithium.
Bedanya, kandungan lithium terdapat di dalam anoda baterai lithium-sulfur dan belerang digunakan dalam katoda.
Sedangkan baterai lithium-ion menggunakan mineral tanah seperti nikel, mangan dan kobalt (NMC) di katoda-nya.
Sumber daya belerang lebih melimpah di kerak bumi daripada nikel, mangan, dan kobalt, serta proses ekstraksinya kurang intensif.
Belerang juga tersedia lebih luas karena merupakan “produk sampingan” dari pemrosesan gas alam dan pemurnian minyak.
Baca juga: Alternatif Baterai Lithium Kendaraan Listrik
Meskipun pasokan belerang mungkin turun selama beberapa dekade ke depan karena dekarbonisasi global, namun nyatanya Amerika Serikat mampu menghasilkan 8,6 juta ton belerang per tahun.
Jadi walaupun baterai ini mengandung lithium, melimpahnya kandungan belerang menjadikannya pilihan yang berpotensi lebih berkelanjutan dibandingkan dengan baterai lithium-ion konvensional.
“Ketika dikomersialkan, baterai ini kemungkinan akan digunakan untuk penyimpanan jaringan, meskipun penggunaan seluler juga layak dalam jangka panjang,” kata Aqsa Nazir, seorang peneliti di laboratorium penelitian baterai Universitas Internasional Florida, dilansir dari BBC.
Kesamaan dengan baterai lithium-ion membuat baterai lithium-sulfur relatif mudah diproduksi.
Jadi, dapat diproduksi di pabrik produksi yang sama serta menghemat biaya sumber daya teknis baru.
Baca juga: Baterai Natrium Kandidat Pengganti Lithium?
Baterai lithium-sulfur juga memiliki keuntungan fungsional tambahan karena memiliki kepadatan energi yang lebih tinggi, yang berarti mereka menghasilkan lebih banyak daya.
“Sulfur memiliki kapasitas untuk memindahkan lebih banyak elektron. Baterai lithium-sulfur memiliki kepadatan energi sembilan kali lipat dari baterai lithium-ion,” Ujar Aqsa.
Namun, baterai ini belum memiliki daya yang baik. Pembentukan dendrit dapat menyebabkan korsleting dan kegagalan baterai.
Misalnya, dengan prototipe yang bekerja hanya untuk 50 siklus pengisian daya, lithium-sulfur belum layak untuk digunakan ke dalam Electric Vehicle (EV).
Baterai lithium-sulfur sudah ada di pasaran, di mana digunakan untuk gadget yang membutuhkan baterai dengan bobot yang lebih ringan dan waktu pengisian yang lebih lama.
Pada tahun 2020, perusahaan bahan kimia Korea, LG Chem, berhasil melakukan uji coba drone yang ditenagai oleh baterai lithium-sulfur.
Perusahaan tersebut mengonfirmasi bahwa baterai ini memiliki siklus pengisian dan pengosongan yang stabil.
LG Chem bermaksud untuk memproduksi massal baterai lithium-sulfur dengan intensitas dua kali lipat dari baterai lithium-ion pada tahun 2025.
Sementara itu, startup baterai Jerman, Theion, juga bekerja untuk membawa baterai lithium-sulfur ke kendaraan listrik.
Baca juga: Efisiensi Baterai Solid-state Vs Lithium-ion
Pada kenyataannya, belum ada jenis baterai tunggal saat ini yang benar-benar akan menjadi jawaban global untuk mengganti baterai lithium-ion.
“Kita tidak perlu mengganti lithium di semua baterai, yang dibutuhkan adalah diversifikasi teknologi baterai,” kata Maria Forsyth, Ketua Elektro-material dan Ilmu Korosi di Universitas Deakin, Australia.
“Mungkin itu (baterai lithium-ion) tidak memiliki satu pengganti, tetapi memiliki alternatif yang dapat digunakan di tempat yang tepat untuk menyebarkannya,” jelas Forsyth.